Minggu, 25 Oktober 2015

KEADAAN POLITIK DARI ORDE LAMA SAMPAI ORDE BARU

SISTEM POLITIK ORDE LAMA
Orde Lama merupakan sebutan bagi masa pemerintahan yang dijalankan oleh Presiden Soekarno di Indonesia. Ir. Soekarno adalah presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 – 1966.  Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang isinya – berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat – menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.
Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando. Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Presiden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando. Di pemerintahan Soekarno malah terjadi pergantian sistem pemerintahan berkali-kali. Liberal, terpimpin, dsb mewarnai politik Orde Lama. Pemberontakan PKI pun sebagian dikarenakan oleh kebijakan Orde Lama. PKI berhaluan sosialisme/komunisme (Bisa disebut Marxisme atau Leninisme) yang berdasarkan asas sama rata, jadi faktor pemberontakan tersebut adalah ketidakadilan dari pemerintah Orde Lama.
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Pada saat itu, kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka.Menurut ahli ketatanegaraan di Indonesia, Indonesia pernah mengalami 5 pergantian system pemerintahan. Dan 4 diantaranya terjadi pada masa orde lama. Diantaranya:

a.    Periode 17 Agustus 1945-27 Desember 1949
b.    Periode 27 Desember 1949-17 Agustus 1950
c.    Periode 17 Agustus 1950-5 Juli 1959
d.   Periode 5 Juli 1959 (masa UUD 1945 pasca Dekrit Presiden).

Dari setiap perubahan ini, dapat kita bandingkan bagaimana sistem pemerintahan Indonesia pada masing-masing periode. Dimana uraian dari masing-masing periode akan dipaparkan sebagai berikut:

 a. Sistem Pemerintahan RI (Periode 17 Agustus 1945-27 Desember 1949).
Dengan adanya Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah merdeka dan tidak terikat lagi oleh kekuatan asing atau penjajah manapun. Indonesia adalah suatu negara yang merdeka dengan segala alat perlengkapan ketatanegaraannya. Beberapa poin penting pada masa itu adalah :
  • Konstitusi yang dipakai adalah UUD 1945 yang ditetapkan dan disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.
  • Bentuk negara Indonesia adalah kesatuan.
  • Sistem pemerintahannya adalah presidensiil yang bergeser ke parlementer.
Sistem pemerintahan yang diamanatkan oleh UUD pada saat itu sebenarnya adalah sistem presidensiil. Kepala negara sekaligus menjabat sebagai kepala pemerintahan dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden. Tetapi ternyata, sistem presidensiil ini tidak bertahan lama. Menurut ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, sebelum MPR, DPR, dan Dewan Pertimbangan Agung terbentuk, presiden akan menjalankan kekuasaannya dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Berarti kedudukan Komite Nasional hanyalah sebagai pembantu presiden.
Nyatanya pada tanggal 16 Oktober 1945, dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No X yang menyatakan bahwa KNIP sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahi kekuasaan legeslatif dan ikut menetapkan GBHN. KNIP sendiri dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang bertanggung jawab kepada KNIP (bukan kepada presiden). Badan Pekerja ini diketuai oleh Sutan Syahrir. (Erman Muchjidin,1986:26-27). Berarti dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No X tersebut, KNIP yang semula berperan sebagai pembantu presiden berubah menjadi badan legeslatif yang merangkap fungsi sebagai DPR dan MPR sekaligus. Menteri-menteri kemudian tidak bertanggung jawab lagi kepada presiden, tetapi bertanggung jawab kepada KNIP. Tanggal 14 November 1945 terbentuklah kabinet parlementer dengan PM Sutan Syahrir. Berarti sistem presidensiil telah beralih menjadi sistem parlementer. (Dasril Radjab,1884:90).
  •  Sitem kepartaian masa itu adalah sistem multipartai. (Erman Muchjidin,1986:27).
Sistem multipartai ini berawal dari dikeluarkannya Maklumat Badan Pekerja KNIP tanggal 3 November 1945 yang berisi anjuran agar pemerintah dan rakyat mendirikan partai-partai politik sebagai sarana pembantu perjuangan bangsa Indonesia.
Alat perlengkapan negaranya terdiri dari :

  • Presiden dan wakil presiden
  • Menteri-menteri
  • Majelis Permusyawaratan Rakyat
  • Dewan Perwakilan Rakyat (Karena MPR dan DPR pada masa itu belum terbentuk, maka fungsi MPR dan DPR dipegang oleh KNIP sekaligus).
  • Dewan Pertimbangan Agung.
  • Mahkamah Agung
  • Badan Pemeriksa Keuangan. (Dasril Radjab,1884:90).

  1. Sistem Pemerintahan RI (27 Desember 1949-17 Agustus 1950).
Diawali dari adanya Konferensi Meja Bundar yang secara jelas menyebutkan keberadaan dari Republik Indonesia Serikat. Salah satu hasil dari KMB sendiri menyebutkan dibentuknya Uni Indonesia Belanda, yang terdiri dari dua negara yaitu RIS dan Belanda. Berarti negara Indonesia saat itu telah berubah menjadi negara serikat. Pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada RIS yang sekaligus menandai perubahan Indonesia menjadi negara serikat ini terjadi pada tanggal 27 Desember 1949. (Erman Muchjidin,1986:33).
  • Konstitusi yang berlaku pada masa itu adalah Konstitusi RIS 1949.
 Bentuk negara RIS adalah federasi, terbagi dalam 7 buah negara bagian dan 9 buah satuan kenegaran yang kesemuanya bersatu dalam ikatan federasi RIS. (Erman Muchjidin,1986:36).
  •  Sistem pemerintahannya adalah parlementer

System pemerintahan parlementer ditandai dengan terbentuknya Senat RIS yang beranggotakan wakil-wakil dari negara bagian. Sistem kabinetnya disebut dengan Kern Kabinet, yaitu PM, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Keuangan, dan Menteri Ekonomi mempunyai kedudukan yang istimewa. Dalam mengambil keputusan mereka mempunyai kekuatan yang sama dengan kekuatan Dewan Menteri. Menteri-menteri tersebut baik secara sendiri-sendiri atau pun bersama-sama bertanggung jawab kepada DPR. Untuk Indonesia, wakil-wakilnya tergabung dalam DPR. (Erman Muchjidin,1986:35).
Alat perlengkapan RIS terdiri dari :

  • Presiden
  • Menteri-menteri
  • Senat
  • Dewan Perwakilan Rakyat
  • Mahkamah Agung Indonesia
  • Dewan Pengawas Keuangan (BAB III Perlengkapan Republik Indonesia Serikat tentang Ketentuan Umum UUD RIS 1949).

  1. Sistem Pemerintahan RI (17 Agustus 1950-5 Juli 1959).

Konstitusi RIS ternyata tidak berumur panjang. Hal ini disebabkan isi konstitusi tersebut tidak mengakar dari kehendak rakyat dan bukan pula merupakan keputusan politik dari rakyat Indonesia. Akibatnya, timbul tuntutan dimana-mana untuk kembali ke negara kesatuan. Satu per satu negara atau daerah bagian menggabungkan diri kembali ke dalam RI. Negara bagian yang lain juga semakin sulit diperintah. Ini jelas akan mengurangi kewibawaan negara serikat.

Untuk mengatasi keadaan tersebut akhirnya Pemerintah Indonesia Serikat mengadakan musyawarah dengan Pemerintah Negara Republik Indonesia. Dalam musyawarah tersebut dicapai kesepakatan bahwa akan bersama-sama melaksanakan negara kesatuan sebagai jelmaan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945 dan untuk itu diperlakukan UUD Sementara. Akhirnya dibentuklah panitia yang bertugas merencanakan sebuah rancangan UUDS Negara Kesatuan Republik Indonesia. Panitia tersebut dipimpin oleh Soepomo untuk RIS dan Abdul Halim untuk RI. Melalui UU Federal No 17 Tahun 1950 (LN RIS 1950 No 56) ditetapkan perubahan KRIS 1949 menjadi UUDS 1950.

UU tersebut hanya berisi dua pasal, yaitu :
  • Pasal 1,“ Berisikan tentang perubahan KRIS 1949 menjadi UUDS 1950 dan setelah itu dimuat selengkapnya naskah dari UUDS 1950, yang terdiri dari mukadimah dan batang tubuhnya”.
  • Pasal 2,“ Menentukan tentang mulai berlakunya UUDS 1950, yakni pada tanggal 15 Agustus 1950”.(Dasril Radjab,1994:98).

  •  Konstitusi yang berlaku adalah UUDS 1950.
Dikatakan sebagai UUDS karena memang UUD ini bersifat sementara. Pemerintah Indonesia pada masa itu membentuk suatu badan yang bernama badan konstituante dimana tugas mereka adalah menyusun UUD.
  •  Bentuk negara menurut UUDS 1950 adalah negara kesatuan.
 Pasal 1 ayat 1 UUDS 1950 meyatakan bahwa RI yang merdeka dan berdaulat ialah negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan (Dasril Radjab,1994:102).
  •  Sistem pemerintahan menurut UUDS 1950 adalah parlementer.
 Dalam Pasal 83 ayat 2 UUDS 1950 dinyatakan bahwa menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri kepada DPR. (Dasril Radjab,1994:103).
  •  Sistem kepartaian masa itu adalah multipartai.
 Pemilu tahun 1955 untuk pertama kalinya dilaksanakan untuk memilih anggota konstituante.
 Alat perlengkapan negara menurut Pasal 44 UUDS 1950 adalah:

  • Presiden dan Wakil Presiden
  • Menteri-menteri
  • Dewan Perwakilan Rakyat
  • Mahkamah Agung
  • Dewan Pengawas Keuangan (Erman Muchjidin,1986:40).

  1. Sistem Pemerintahan RI (5 Juli 1959-pasca Dekrit Presiden).

Konstituante yang diharapkan dapat merumuskan UUD guna menggantikan UUDS 1950 ternyata tidak mampu menyelesaikan tugasnya. Hal ini jelas akan menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara. Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Isi dari Dekrit tersebut salah satunya adalah memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlaku kembali UUDS 1950. (Dasril Radjab,1994:106).
  •  Konstitusi yang dipakai adalah UUD 1945.
  •  Bentuk negara adalah kesatuan
  •  Sistem pemerintahannya adalah presidensiil

Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden. (Dasril Radjab,1994:108). Sistem presidensiil ini kelanjutannya akan menjadi presidensiil terpimpin. Presiden justru sebagai Pimpinan Besar Revolusi, segala kebijaksanaan ada di tangannya.
 Alat-alat perlengkapan negara setelah keluarnya Dekrit Presiden adalah :

  • Presiden dan menteri-menteri
  • DPR Gotong Royong
  • MPRS
  • DPAS
  • Badan Pemeriksa Keuangan
  • Mahkamah Agung (Soehino,1992:148).

Beberapa penyimpangan yang terjadi pada masa setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah :

  • Berlakunya demokrasi terpimpin dengan penafsiran bahwa presiden memegang kepemimpinan yang tertinggi di tangannya, menjadikan dirinya selaku Pimpinan Besar Revolusi dan konsep Nasakom dalam kehidupan bangsa. Padahal yang dimaksud dengan terpimpin menurut UUD 1945 adalah terpimpin dengan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Sedangkan konsep Nasakom berakibat pada PKI dapat menguasai lembaga negara.
  • Dalam SU MPRS Tahun 1963 Soekarno ditetapkan sebagai presiden seumur hidup. GBHN Indonesia pada pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960 ditetapkan menjadi Manipol/USDEK (UUD 1945, Sosialis Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional).
  • Pemusatan kekuasaan pada presiden tidak saja menjurus kepada pemujaan individu dan menghilangkan fungsi dari lembaga negara yang ada karena lembaga negara yang telah dibentuk itu tunduk pada presiden. Orang-orang yang duduk dalam lembaga negara tidak didapat dari hasil pemilu tapi dipilih langsung oleh presiden.
  • Presiden membubarkan DPR hasil pemilu karena tidak menyetujui usul RAPBN dari presiden.
  • Desakan PKI membuat Indonesia keluar dari PBB. PKI berhasil membuat Indonesia meninggalkan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan dibelokkan ke komunis atau poros-porosan (Jakarta-Peking-Pyongyang). Indonesia juga melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Akibatnya Indonesia makin terasingkan dimata internasional. (Erman Muchjidin,1986:57).

SISTEM POLITIK ORDE BARU

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsiyang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada 1968MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 197319781983,19881993, dan 1998. Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya. Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebutlustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. DPR dan MPRtidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi tujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan GolkarTNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi. Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yangkelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.



A.   System Otoritarianisme Orde Baru

Para ilmuwan politik, terutama yang mempunyai kepedulian terhadap stdi politik Indonesia memberikan julukan  yang beragam dalam mendeskripsikan karakterristik politik dan pemerintahan orde baru. Meskipun demikian terdapat benang merah yang menjembatani di antara berbagai perbedaan tersebut, yakni dominasi Negara atau birokrasi atas masyarakat.
Menurut Hikam, pengristalan sebuah Negara yang sangat kuat ini kompatibel dengan model pembangunan yang dikembangkan oleh orde baru, yakni model Negara kapitalis. Model ini mensyaratkan adanya Negara yang kuat yang mampu menjamin stabilitas politik dan keamanan yang berrkelanjutan. Stabilitas yang kuat ini diorientasikan untuk memberi rasa aman bagi invetasi dan implementasi kebijakan pembangunan yang diprakarsai oleh Negara. Oleh karena itu Negara orde baru secara intensif memelihara stabilitas politik melalui dua strategi pokok, yakni strategi diskursif dan bangunan institusional. Strategi diskursif yang telah dilaksanakan meliputi pemikiran-pemikiran mengenai diskontinuitas historis dan konstitusionalisme yang berfungsi tidak hanya sebagai landasan ideologis di mana pengembangan hegemoni kekuasaan dibangun, melainkan sebagai justifikasi untuk menghalalkan penindasan fisik, pelarangan, dan peggusuran orang-orang yang tidak sepaham. Sementara itu pada level institusional, pemikiran mengenai Negara yang kuat diimplementasikan melalui rancangan korporatis terhadap organisasi-organisasi social-politik dan kelompok-kelompok di masyarakat yang memiliki pengaruh besar dalam penggalangan politik seperti organisasi-organisasi buruh, kelompok-kelompok industry, kelompok-kelompok keagamaan, serta organisasi kepemudaan.
Dalam menganalisis politik orde baru beserta tatanan yang menopangnya, para ilmuwan politik telah menggunakan beberapa label, yang di antaranya dapat diidentifikasi sebagai berikut: “statequa-state” yang diberikan oleh Ben Anderson, “bureaucratic polity” oleh Karl D.Jackson, “bureaucratic pluralism” oleh Donald Emmerson, “bureaucratic authoritarianism” oleh Dwight King, dan “limited pluralism” oleh William Liddle.
Karl D.Jackson menyebut orde baru sebagai masyarakat politk birokrasi, menggambarkan bagaimana arena politik sangat di dominasi oleh birokrasi Negara. Menurutnya dalam suatu masyarakat politik birokrasi  sebagaimana dicirikan oleh birokrasi orde baru, keputusan-keputusan penting diformulasikan dalam birokrasi, korps militer, dan administasi sipil. Kelompok-kelompok di luar birokrasi, sebagai konsekuensi kuatnya organisasi birokrasi, seperti pemimpin kharismatik, partai politik, kelompok-kelompok kepentigan, dan gerakan massa tidak mempunyai pengaruh dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional. Dalam hal ini,kebijakan nasional dibuat dalam lingkaran kecil elit yang berpengaruh dan biasanya kebijakan tersebut ditujukan untuk merespon nilai-nilai dan kepentingan pemimpin militer dan birokrat tingkat tinggi.
Kuatnya dominasi Negara dan birokrasi dalam mengontrol kehidupan masyarakat membuat pembangunan politik pada masa orde baru tidak berjalan denagn baik. Sebagaimana dikemukakan oleh Jeffery Winters, dalam masa kekuasaannya, Soeharto melakukan permainan politk yang lihai, sambil terus-menerus mendepolitisasi dan memobilisasi masyarakat umum. Langkah-langkah ini menurutnya telah memberikan rassa aman kepada para investor dalam dan luar negeri sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi dapat terwujud di negeri ini. Ini berakibat padda tidak adanya pembangunan politik elementer. Soeharto dan sekutunya di ABRI melaksanakan politik penyingkiran secara pribadi, dan bukannya dengan cara membangun institusi-institusi politik yang kuat (yang terus dapat berfungsi, terlepas siapapun yang berkuasa).
Begitu kuatnya kekuasaan politik Soeharto yang ditopang oleh birokrasi dan militer membuat struktur politik tidak berfungsi sebagaimana seharusnya. Politik dan pemerintahan yang didominasi oleh birokrasi dan militer yang pada perkembangan selanjutnya mempresentasi pada diri Soeharto. Ini telah memandulkan fungsi-fungsi struktur politik demokrasi hingga hanya sebagai pelayan atas keinginan-keinginan Soeharto dan kroni-kroninya.
Golkar telah berperan sebagai partai hegemonic, yang meskipun dirinya sendiri tidak mau disebut sebagai partai politik. Sebagai partai hegemonic, Golkar mempunyai keunikan, yakni bukan partai kader dan partai massa. Ini karena partai hegemonic tidak diciptakan dan dikembangkan oleh kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat sebagaimana partai massa dan kader, tetapi dibangun oleh pemerintah. Dalam praktinya, partai hegemonic ini mempunyai massa yang besar sebagaimana dalam partai massa, tetapi anehnya mempunyai anggota yang berasal dari kalangan elit sebagaimana biasa terjadi dalam partai kader. Namun berbeda dengan kedua partai ini ,partai hegemonic mempunyai faksi-faksi dalam dirinya, yang terdiri dari faksi militer dan birokrasi. Kedua faksi ini secara bersama berfungsi sebagai politburo yang mengontrol kebijakan-kebijakan partai. Dalam konteks Indonesia pembuatan keputusan secara formal addalah ketua partai, tetapi dalam kenyataannya berada di tangan presiden.
Di sisi lain, ketiadaan pembangunan politik juga membuat politik pada masa orde baru minim partisipasi politik. Pada tingkat system, otoritarianisme politik yang dikontekstasikan orde baru telah membuat system politik tidak lagi responsive terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pembangunan ekonomi yang semestinya ditujukan untuk mendorong kemakmuran rakyat , dalam kenyataannya hanya dinikmati oleh segelintir elit politik dan ekonomi terutama yang berada dalam lingkaran keluarga cendana.


B.   Penopang Kekuasaan Orde Baru

Rezim orde baru di bawah Soeharto telah mampu mempertahankan kekuasaannya selama lebih dari tiga decade. Pada tahun 1993, di majalah CEO/International Strategis, Jeffrey Winters mengatakan bahwa setelah Kim II Sung dari Korea Utara, Soeharto adalah kepala Negara terlama di kawasan Asia saat itu, dan jika Soeharto berhasil mempertahankan kekuasaan hingga tahun 1996 maka ia akan menjadi kepala Negara kepulauan terbesar di dunia selama tiga decade.

Secara umum, sekurang-kurangnya terapat empat sumber utama yang menjadi penopang kekuasaan orde baru:
1.     Represi politik
Sejak orde baru melakukan konsolidasi politik pada awal tahun 1970-an, tindakan kekerasan dan represif merupakan instrument utama yang dipakai oleh pemerintah untuk mencapai stabilitas politik. Organisasi militer yang ditempatkan hingga ke desa-desa dalam bentuk Bantara Pembina Desa (Banbinsa), sementara pada waktu bersamaan pemerintahan orde baru telah mendirikan banyak instrument guna melakukan represi terhadap warga negaranya. BAIS ( Badan Intelijen Strategis) yang terdiri dari unsure tentara, BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen) yang banyak diisi oleh orang-orang sipil, Kopkamtib yang kemudian diubah menjadi Bakorstanas (Badan Koordinasi Strategi Nasional) telah menjadi lembaga-lembaga represif yang mengontrol masyarakat.

2.     Klientelisme ekonomi
Ini dilakukan seiring dengan melimpahnya sumber ekonomi yang berasal dari hasil ekspor minyak dan hasil alam lainnya. Dengan sumber inilah, Soeharto berhasil secara efektif membeli dukungan elit dan masyarakat luas.

3.     Wacana partikularistik
Dalam kaitan ini, orde baru telah mengembangkan banyak wacana partikularistik yang diorientasikan untuk memapankan orde baru, seperti wacana tentang demokrasi pancasila, tanggung jawab social warga Negara, hak asasi manusia (HAM) dan lain sebagainya. Dengan demikian, jika politik represi dan klientlisme ekonomi adalah mekanisme control terhadap perilaku politik,maka politik wacana merupakan mekanisme control terhadap persepsi dan pola piker partisipan politik. Dalam konteks inilah, orde baru berhasil membangun legitimasinya dengan menyosialisasikan beberapa wacana baru seperti stabilitas politik, integrassi nasional,kegagalan demokrasi liberal, dan lain sebagainya.

4.     Korporatisme Negara
Korporatisme Negara dilakukan terhadap organisasi masyarakat yang diarahkan sebagai sumber mobilisasi massa. Korporatisme ini mewujud dalam bentuk penunggalan kelompok-kelompok profesi dan kepentingan yang ke bawah menempati posisi penting di hadapan anggotanya, tetapi sangat rentan terhadap intervensi Negara. Beberapa organisasi korporatis di antaranya adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Kamar Dagang dan Industri (KADIN), dan lain sebagainya. Biasanya pemerintah menempatkan orang-orang kepercayaannya di lembaga-lembaga ini sehingga lembaga ini , bukannya memperjuangkan kepentingan anggotanya vis-à-vis Negara atau pemerintah, tetapi malahan menjadi alat control terhadap anggotanya yang mempunyai peluang untuk melawan kebijakan rezim.


C.   Kelebihan Sistem Pemerintahan Orde Baru
·        Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
·        Sukses transmigrasi
·        Sukses KB
·        Sukses memerangi buta huruf
·        Sukses swasembada pangan
·        Pengangguran minimum
·        Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
·        Sukses Gerakan Wajib Belajar
·        Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
·        Sukses keamanan dalam negeri
·        Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
·        Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri


D.   Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
  • Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
  • Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
  • Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
  •   Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
  •   Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
  •    Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan yang dibreideli 
  • Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus) 
  •  Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintahan presiden selanjutny


E.   Kebijakan Ekonomi pada Masa Orde Baru

Pada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Tujuannya adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Pelaksanaan pembangunan bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yang isinya meliputi hal-hal berikut.
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Nasional disusun Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang yang meliputi kurun waktu 25-30 tahun. Pembangunan Jangka Panjang (PJP) 25 tahun pertama dimulai tahun 1969 – 1994. Sasaran utama PJP I adalah terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan tercapainya struktur ekonomi yang seimbang antara industri dan pertanian. Selain jangka panjang juga berjangka pendek. Setiap tahap berjangka waktu lima tahun. Tujuan pembangunan dalam setiap pelita adalah pertanian, yaitu meningkatnya penghasilan produsen pertanian sehingga mereka akan terangsang untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari yang dihasilkan oleh sektor industri. Sampai tahun 1999, pelita di Indonesia sudah dilaksanakan sebanyak 6 kali.

Dalam membiayai pelaksanaan pembangunan, tentu dibutuhkan dana yang besar. Di samping mengandalkan devisa dari ekspor nonmigas, pemerintah juga mencari bantuan kredit luar negeri. Dalam hal ini, badan keuangan internasional IMF berperan penting. Dengan adanya pembangunan tersebut, perekonomian Indonesia mencapai kemajuan.
Meskipun demikian, laju pertumbuhan ekonomi yang cukup besar hanya dinikmati para pengusaha besar yang dekat dengan penguasa. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan dan landasan ekonomi yang mantap sehingga ketika terjadi krisis ekonomi dunia sekitar tahun 1997, Indonesia tidak mampu bertahan sebab ekonomi Indonesia dibangun dalam fondasi yang rapuh. Bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi dan krisis moneter yang cukup berat. Bantuan IMF ternyata tidak mampu membangkitkan perekonomian nasional. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab runtuhnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998.

F.    Peran dan Posisi Militer

Sejarah kekuasaan orde baru adalah sejarah neofasisme (militer) yaitu suatu pemerintahan yang dibangun dengan cara mengandalkan elitisme, irasionalisme, nasionalisme, dan korporatisme. Pembahasan system otoriter orde baru tidak dapat dilepaskan dari peran militer dalam menopang kekuasaannya melalui paradigma dwifungsi ABRI.  Ada 3 peran penting yang dilakukan ABRI terutama dalam kaitannya dengan usaha-usaha menopang kekuasaan Soeharto, yaitu:
·        Militer menempati jabatan-jabatan politis seperti menteri, gubernur, bupati, anggota golkar, dan duduk mewakili dirinya di DPR.
·        Militer menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil seperti dalam kasus pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan kassospol ABRI, Letjen Syarwan Hamid, yang mengumpulkan para guru besar dari  seluruh Indonesia di Bogor pada Maret 1997.
·        Militer melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat.


G.  Krisis dan Keretakan System

Kejatuhan Soeharto tidak dapat dilepaskan dari krisis moneter yang melanda Indonesia pertengahan 1997. Yang awalnya melanda Thailand. Krisis tersebut segera menyebar dan menjalar ke Negara-negara lain seperti Korea Selatan, Malaysia, Filipina dan Indonesia. Indonesia membutuhkan waktu dua tahun lebih lama dibandingkan dengan Negara lain di kawasan Asia yang mengalami krisis. Keterlambatan Indonesia keluar dari krisis karena krisis moneter menjadi penyulutbagi krisis yang lain sehingga krisis menjadi bersifat multidimensi. Krisis ekonomi telah bermetamorfosis menjadi krisis multidimensi yang akut.
Implikasi krisis ekonomi dan moneter serta kegagalan pemerintah dalam merespon dan mengatasi krisis tersebut membuat legitimasi pemerintahan Soeharto hancur berantakan. Bahkan lebih parah lagi rezim ini tidak lagi dipercaya oleh rakyat untuk dapat mengatasi persoalan-persoalan ekonomi, dan akibatnya krisis ekonomi berkembang menjadi krisis politik. Krisis ekonomi telah mendorong kehancuran kredibilitas pemerintah. Kehancuran kredibilitas pemerintah di mata masyarakat luas dan dunia internasional tersebut telah mengakibatkan hilangnya kepercayaan yang dapat dilihat dari pernyataan pejabat representative Bank Dunia untuk Indonesia, Dennis de Tray, ketika pemerintah meminta pertolongan dari IMF. Menurutnya Indonesia tidak mengalami krisis ekonomi tetapi mengalami krisis kepercayaan. Menurut Dawam Raharjo, krisis kepercayaan masyarakat masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat dari respon masyarakat yang sering kali berlawanan dengan tujuan dan arah berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Suatu kebijakan pemerintah yang menggiring ekspektasi masyarakat kea rah kanan justru menimbulkan reaksi masyarakat kea rah kiri, dan sebaliknya. Ini terutama disebabkan oleh persepsi masyarakat terhadap berbagai langkah pemerintah yang tidak jelas, baik menyangkut arah maupun tujuannya, ketidakkonsistenan pemerintah dan langkahnya teladan dari para pemimpin bangsa. Factor lainnya adalah semakin tidak meratanya distribusi pendapatan dan kekayaan sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas social.
Selama ini, legitimasi utama pemerintahan orde baru adalah pada pembangunan ekonomi. Di luar itu, keberhasilan ekonomi rezim ini tidak mempunyai basis legitimassi apapun. Pembangunan telah menjadi ideology rezim yang dipropagandakan ke seantero Indonesia. Pihak-pihak yang menentang disingkirkan dan dianggap subversive. Krisis moneter dan ekonomi telah menghancurkan sama sekali basis legitimasi ekonomi yang dibanggakan rezim. Bahkan krisis ekonomi juga telah menyadarkan banyak pihak bahwa bangunan ekonomi yang katanya kokoh ternyata tidak mampu menahan gejolak ekonomi global. Sebaliknya, Indonesia menjadi Negara paling lama keluar dari krisis ekonomi jika dibandingkan dengan Negara-negara tetangga yang mengalami krisis yang sama.
Selanjutnya, akibat dari krisis moneter yang sangat parah adalah pilar-pilar ekonomi Indonesia mengalami keguncangan. Sector ekonomi modern, seperti industry,konstruksi dan keuangan telah hancur berantakan.dampak yang ditimbulkannya adalah jutaan kaum pekerja telah kehilangan lahan kehidupan mereka, sehingga menambah jumlah orang yang masuk ke dalam barisan pengangguran.
Ringkasnya, tidak dapat disangkal lagi bahwa krisis moneter yang berujung pada krisis multidimensi telah membuat kondisi kemiskinan menjadi semakin buruk. Penyakit pembangunan yang muncul sebagai akibat pembangunan yang berorientasi pertumbuhan yang dilaksanakan sejak akhir tahun 1960-an telah semakin merajalela dan bertambah parah seiring ketersediaan lapangan kerja, pendidikan untuk kaum miskin, akses layanan kesehatan, gizi balita, dan jaminan lingkungan yang semakin buruk, ataupun korupsi, kolusi, dan nepotisme yang bertambah luas, serta amburadulnya penegakan hokum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembangunan yang telah dilakukan oleh rezim orde baru selama lebih dari 3 dasawarsa telah gagal total dalam meraih tujuan masyarakat adil dan makmur, seperti yang selalu digembar-gemborkan oleh penguasa orde baru. Implikasi dari kegagalan ini adalah kehancuran basis legitimasi orde baru, yakni pembangunan ekonomi. Padahal, di luar pembangunan ekonomi, rezim soeharto tidak mempunyai basis legitimasi. Pembangunan politik demokrasi tidak dilakukan sama sekali. Kebebasan pers juga dikekang, dan kebebasannya sangat ditentukan oleh mood penguasa. Ikatan-ikatan social juga dihancurkan sebagai akibat politik pemecah-belahan yang dilakukan rezim orde baru.

1 komentar: